Liberal

Ketika menghargai di salah artikan sebagai liberal.

Kali ini isi tulisanku akan sedikit panjang tentang kejadian beberapa waktu lalu yang aku alami. Beberapa waktu yang lalu, seseorang melabeli “Islam liberal” padaku. Menurutku jaman sekarang adalah zamannya melabeli seseorang yang berbeda pandangan dan kita makin minim dengan yang namanya saling menghargai serta menjaga perasaan. 

Waktu itu aku ngobrol dengan beberapa orang tentang pengalamanku. Pada saat sharing pengalaman hidup dan belajar dilingkungan minoritas muslim, beberapa orang bertanya tentang kehidupan disana dan tentang bagaimana pandanganku. Singkatnya, aku tidak merasa disusahkan oleh orang yang berbeda keyakinan denganku dan tidak terusik tentang keimanan teman-temanku yang notaben non muslim dan atheis. Aku tetap menjalankan semua kehidupanku seperti biasanya bersama beberapa teman dekat yang berbeda keyakinan.

Pengalamanku bukan hanya tentang pendidikan, travelling, dan kesenangan lainnya, tetapi tentang kepercayaan kita  sebagai individu yang menghargai satu sama lain, memanusiakan manusia. Agama memang konten yang sangat sensitif, tapi akan menjadi sangat berbahaya jika yang sudah jelas-jelas “red line” itu diganggu. Jika saja kita sebagai individu menempatkannya secara baik, pasti tidak akan membuat hal ini menjadi besar dan bermasalah.

Selama disana, aku dan teman-teman tidak pernah diintimidasi baik secara verbal maupun tindakan abusive lainnya. Semua berjalan normal dan adem. Laki-laki tetap solat jum’at, semua tetap ibadah menjalankan kewajiban 5 waktu. Ramadhan tetap puasa, tarawih jamaah, dan tadarus. Idul adha, Idul Fitri dan maulid nabi kita peringati. 

Ada yang bertanya tentang diskriminasi orang non-muslim terhadap muslim di sana. Berita seperti ini memang banyak dan memang ada, tapi tidak semua yang disajikan di platform internet itu benar. Berita yang sering tersebar di media sosial terkadang terlalu banyak bumbu dan tidak jarang dibubuhi kebencian. Berita tentang agama dan ras issue seakan mendapat panggung besar sebagai headline news. Berita semacam ini seperti api dalam sekam, loh. Pelan pelan tapi akhirnya menyebabkan kekisruhan.
Sebagai pengguna sosial media, sering merasa miris melihat orang yang menyumpah satu sama lain, saling membenci, dan menuliska kata-kata makian. Wah, netizen memang mendewakan tindakan verbal abusive saat ini.

Hal pertama yang ingin dibahas masalah solat jum’at. Solat jum'at adalah kewajiban setiap laki-laki muslim. Teman-teman muslim yang laki-laki dari negara manapun yang berada di kampus selalu solat dan mendapatkan izin dari pihak sekolah. Ada yang bertanya “kenapa kita harus izin untuk solat jum'at”
Jawabannya adalah wajib bagi muslim, tidak wajib bagi mereka. Izin dan berdiskusi adalah jalan utama kita saat disana dan menurutku teman-teman yang berada di negara manapun pasti menerapkan hal ini. Kita datang negara yang nihil pemahaman tentang kewajiban kita sebagai muslim itu apa saja, kita mencari jalan saling nyaman tanpa salah paham. 
Letak masjid lumayan jauh dan itu bertepatan dengan waktu kelas akan dimulai pukul satu, sedangkan solat jum’at belum selesai. Akhirnya setelah berdiskusi dengan guru yang mengajar, laoshi memberi kelonggaran setiap jum’at masuk pukul 14.00. 

Lanjut, Idul adha adalah momen pertama kali kita lebaran disana. Hari itu kita, yang muslim-meminta izin untuk tidak masuk kelas pagi karena ingin solat Ied. Disinilah kenakalan pertama kita lakukan yaitu cabut kelas karena dosen management tidak memberi izin :D
Setelah itu, tentu saja beliau kecewa karena kita tidak masuk karna mengabaikan kelas beliau. Akhirnya setelah dari sholat Ied kita semua menghadap beliau dan minta maaf. Alhamdulillah semua clear.

Pertanyaan menarik lainnya “kenapa minta maaf?”
Minta maaf disini bukan karna kita salah karna sholat ied, tapi karna kita cabut. Beliau bukan orang yang paham tentang Islam dan mempunyai perbedaan culture, kepercayaan, serta euphoria dalam hari raya. Bahagianya setelah itu, kita jadi lebih terbuka dan berbagi pengetahuan bersama. Tentunya beliau mengangkat tema "time management" sebagai bahasan setelah kejadian ini :D

Untuk lima waktu tidak ada hambatan. Terkadang ada acara dari kampus saat magrib tapi kita bisa minta kelonggaran untuk solat dulu, walaupun terkadang ada semacam “aduh belum ya? kita sudah terlambat” tapi hanya sebatas itu. Terlalu kecil untuk masuk ke hati digituin.

Another moment: temanku satu kamar dengan American. Setiap dia lagi solat, kalau ada yang mengetuk pintu kamar atau mau masuk ke kamar mereka, temannya pasti bilang “ssttt be quite, she is praying. You can come later” Ah rasanya seru sekali flashback ini.

Setiap peringatan hari besar islam kita masak banyak daging kambing dan sapi terus kita bawa ke kelas. Disitu kita makan bersama mau apapun itu kepercayaan dan keyakinan, ras dan suku bangsa. Kita tanamkan di diri kita; berbagi, menghargai, dan toleransi. Kita adalah mahluk sosial yang tidak hanya hidup dengan satu golongan saja. Apapun yang kita yakini, tetap berpegang tanpa menghilangkan toleransi dan sikap saling menghargai.

Ramadhan dan tarawih masih seperti Ramadhan pada umumnya. Kita puasa, kita tarawih berjamaah, kita tadarusan, sahur, buka puasa bersama. Tidak ada yang menghalangi kita untuk beribadah disana. Tidak ada yang julid tentang kepercayaan kita. Bagi mereka, itu kepercayaan kita, urusan kita, dan tidak perlu ikut campur.

Untuk masalah opini-opini tentang islam dan berkerudung; Pernah saat itu teman-teman dari Mongolia pikir berkerudung sangat menyesakkan dan panas, lalu karena penasaran mereka sering mencoba pakai kerudung dan lama-lama mereka suka sama kerudung. Temanku yang memiliki pemahaman luas dibidang ini bercerita tentang perempuan muslim dan kenapa kita berkerudung. Didalam islam perempuan diwajibkan memakai kerudung untuk menjaga diri serta menjaga dari hal jahat lainnya, serta siapa saja yang boleh melihat aurat dan ternyata mereka takjub dengan adanya hal ini bagaimana islam itu sendiri menjaga perempuan. 
Karena hal ini, mereka seakan ikut merasakan dan menjaga kita-kita yang berkerudung ini. 

Terus, lingkungan bebas menjadikan minuman beralkohol sebagai minuman wajib dan lumrah untuk tempatan disini. Untuk masalah Alkohol, teman-temanku yang peminum memberi julukan "manusia non-alcohol". Setiap kongkow dan main game selalu ada beer,  soju, dan tidak lupa minuman berkarbonan untuk para non alcoholic ini. Karena kita tidak minum, mereka lebih sering menjaga kadar alkohol yang mereka minum ketika bersama teman-teman yang tidak minum. Disini balik lagi ke diri sendiri. Pernah dengar kejadian orang dicekoki alcohol walaupun dia bilang tidak minum? jadi benar orang yang sudah dikuasai alkohol itu susah menghandle dirinya. Maka dari itu teman-teman aku selalu menjaga kadar alkoholnya ketika lagi ngumpul. Yah kita selagi teman-teman dalam zona hijau, masih aman. Ketika mereka mulai memberi sinyal kita bubar kekamar masing-masing :D

Terus si mawar nanya “kok kalian tidak ngelarang mereka?”
Aku pernah tanya “kenapa kalian minum? apa enaknya?” dan menurut mereka itu kesenangan mereka. Kita mau apa? Mau dijelasin pengaruh buruk alkohol mereka sebenarnya paham tapi alkohol sudah menjadi kebiasaan dikalangannya. Kita sadar diri kita dimana, yang terpenting menjaga diri. Teman-temanku yang peminum, mereka tidak pernah mempengaruhi atau bahkan iseng menantang kita untuk mencoba alkohol. Terkadang juga sewaktu lagi ngumpul mereka lebih memilih tidak minum depan kita. 

"mbak liberal banget ya semenjak kuliah diluar negri" wuhuhuhu aku cuma bisa senyum.  Dari semua ceritaku berteman dengan orang-orang yang berbeda keyakinan denganku dengan segala pola hidup berbanding terbalik dan juga karena aku tidak melarang mereka dan tidak membatasi mereka ternyata kesimpulan yang ada didalam pikiran orang-orang ini adalah aku liberal. Padahal yang aku sadari, aku bukan liberal tapi, their live is not my business.

Apa salah berteman dengan yang berbeda keyakinan?  sah-sah aja kita berteman dengan siapapun. Masalah keimanan? sebagai individu yang harus menjaganya. Semenjak mulai merantau, aku sudah menanamkan dalam diri “siapapun bisa jadi teman asal tidak merugikan hidupku. Untukku agamaku, untukmu agamamu” karena itu aku berteman dengan siapa saja. Aku yakin perbedaan yang diciptakan Allah itu bukan untuk saling membenci.

Aku bukan pro hal-hal negative, tapi apa yang kita lihat dengan apa yang kita alami berbeda. Apalagi yang belum pernah kita alami sendiri, tidak perlu sentimen. Aku selalu berusaha untuk terbuka tentang perbedaan. Yang memecah belahkan banyak orang itu sebenarnya dari emosi, tidak menghargai yang sengaja memecah belahkan. Apakah salah kita berteman dengan yang berbeda keyakinan? Apa salah kita menghargai perbedaan orang lain? Apa toleransi dan menghargai itu label liberal?

Menurut aku, selagi itu tidak merugikan, menyakiti harga diri dan tidak mengusik iman, aku tidak masalah. Faktanya bahwa diversity mengajarkan untuk menghargai perbedaan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ruang Temu

Student Exchange to SIAS International University